Belakangan ini kita disuguhkan dengan berita-berita internasional khususnya mengenai perang dagang yang terjadi diantara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok. Kita bisa melihat bagaimana ketegangan yang ditimbulkan oleh kedua negara ini seakan menghidupkan kembali persaingan antar dua kekuatan besar dunia. Persaingan menjadi semakin nyata ketika Amerika mengumumkan berbagai kebijakan baru khususnya untuk komoditas-komoditas atas Tiongkok yang kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan hal yang sama.
Semakin hari permasalahan ini semakin parah, jumlah komoditas dagang yang saling bersaing dari dua negara tersebut semakin banyak. Akhir-akhir ini kita bahkan melihat bagaimana Amerika berusaha melawan pengaruh Tiongkok dengan membatasi perusahaan-perusahaan berbasis teknologi asal Tiongkok seperti Huawei dan ZTE. Hal ini mungkin mengingatkan kita bahwa pada tahun 1957, Uni Soviet berhasil menggemparkan dunia dengan program antariksanya yang berhasil meluncurkan satelit buatan manusia pertama, Sputnik I. Hanya beberapa bulan kemudian Uni Soviet mengirimkan mahluk hidup pertama ke luar angkasa yaitu Laika yang sebenarnya adalah seekor anjing jalanan.
Pada tahun 1961, Soviet bahkan mengirimkan manusia pertama keluar angkasa, astronot itu bernama Yuri Gagarin. Dengan berabgai pencapaiannya, Uni Soviet seakan berpesan kepada seluruh dunia bahwa komunis bukan hanya mampu menandingi, bahkan mampu mengalahkan kemajuan teknologi dari berbagai negara kapitalis barat. Melihat hal ini Amerika segera merespons dengan program antariksanya sendiri yang didorong atas kecemburuan dan ketakutan terhadap superioritas teknologi dari negara rivalnya tersebut.
Hal ini membuat Amerika mengalokasikan dana yang begitu besar bagi program-program antariksanya dan pada akhirnya membuat space race berhasil dimenangkan oleh Amerika. Sekalipun Uni Soviet telah runtuh, namun bayang-bayang akan ketertinggalan dari negara adidaya seperti Amerika seakan muncul kembali dengan bangkitnya Tiongkok pada abad ke 21. Kebangkitan tersebut seakan menggantikan posisi Soviet sebagai saingan terberat yang dihadapi Amerika Serikat.
Berbeda dengan kawan lamanya, Soviet, Tiongkok yang sekalipun labelnya adalah komunis, Ia tidak terlalu tertarik untuk menyebarkan ideologinya. Bagi pemerintah Tiongkok yang terpenting adalah menjamin berbagai kebutuhan dari masyarakatnya yang begitu besar dan masih terus membesar sekaligus menjamin keberlangsungan kekuasaan dari partai komunis. Terlebih bagi pemerintah Tiongkok bayang-bayang akan kejatuhan dari para pemimpin Uni Soviet masih cukup hangat di pikiran mereka.
Bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan era orde baru atau setidaknya dipengaruhi olehnya mungkin akan bertanya, bukankah negara yang menganut ideologi komunis memiliki kecenderungan menyebarkan ideologinya ke negara-negara lainnya, mengapa hal tersebut bisa berubah?. Tiongkok terlepas dari ideologi komunisnya mampu menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Bahkan membuat negara-negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat pada akhirnya harus mengumumkan perang dagang melawan Tiongkok.
Perubahan kebijakan tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Deng Xiao Ping. Yang seperti namanya Xiao Ping lebih tertarik mencari kucing yang memang mampu menangkap tikus, tidak peduli apa warna kucingnya. Sebagai seorang pemimpin yang menggantikan Mao Zedong, Deng juga mewarisi berbagai masalah yang belum mampu diselesaikan oleh pemimpin Tiongkok sebelumnya.
Dalam menghadapi berbagai masalah tersebut, Deng Xiao Ping menerapkan prinsip mencari kebenaran dari fakta yang kemudian ia tuangkan dalam kalimat, sosialisme dengan karakteristik Tiongkok. Kalimat tersebut mewarnai berbagai kebijakan yang diambil pada masa pemerintahannya yang pada dasarnya bisa kita mengerti sebagai bentuk politik praktis.
Diambilnya kebijakan itu tidak terlepas dari pengalaman hidupnya yang sudah melewati berbagai fase. Mulai dari pengalamannya dalam perang saudara Tiongkok, dimana salah satu faktor yang menjelaskan mengapa komunis berhasil memenangkan perang tersebut adalah bagaimana mereka mampu memanfaatkan pasukan-pasukan nasionalis yang berhasil ditangkapnya untuk kemudian dirubah atau di indoktrinisasi menjadi pasukan-pasukan komunis baru yang setia.
Berbeda dengan pasukan komunis yang umumnya terdiri dari para gerilyawan, pasukan militer nasionalis yang berasal dari tentara revolusioner nasional atau pasukan Kuomintang. Pasukan ini bukan hanya merupakan pasukan yang lebih terlatih, mereka juga adalah veteran dalam perang konvensional melawan Jepang. Sebagian dari mereka bahkan sudah dipersenjatai ulang dan dilatih menurut metode perang terbaru dari militer sekutu.
Sekalipun demikian, tidak jarang pasukan yang lebih modern ini terjebak dan dikepung oleh komunis. Dan dalam hal ini tidak jarang, bukan karena para perwira Kuomintang yang kurang kompeten, melainkan karena sebagian dari para perwira Kuomintang lebih sibuk untuk bersaing diantara mereka sendiri daripada bersatu untuk melawan musuh bersama yakni pasukan komunis. Bahkan tidak jarang dari para perwira Kuomintang yang karena permasalahan pribadi membiarkan rekan-rekan mereka dikepung dan dihancurkan dengan meminjam tangan dari pasukan komunis. Hal ini mereka lakukan sebagai salah satu cara untuk menyingkirkan rival-rivalnya.
Hal ini juga bisa dilihat dari kisah salah satu perwira terbaik Kuomintang yang bernama Zhang Lingfu. Zhang adalah salah satu perwira yang paling kompeten, Chiang Kai Shek bahkan mempercayakannya sebagai kepala dari divisi 74 yang pada saat itu merupakan salah satu dari 5 pasukan terbaik yang dimiliki oleh Kuomintang. Namun dalam kampanye militer, Menglianggu, pasukannya maju terlalu jauh kegaris pertahanan musuh sehingga mudah dikepung oleh pasukan-pasukan komunis.
Sekalipun pada dasarnya masih terdapat pasukan Kuomintang disekitarnya, sebagian dari mereka tidak mau membantu divisi 74 dengan mengatakan berbagai alasan. Bahkan setelah atasan mereka sendiri yaitu Chiang Kai Shek memerintahkannya untuk menolong Zhang yang sebenarnya adalah rekan seperjuangan dari para perwira tersebut. Salah satu alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah karena kecemburuan mereka dengan pencapaian militer Zhang yang dipercayakan memimpin salah satu divisi terbaik Kuomintang.
Pada akhirnya permasalahan ini menyebabkan salah satu perwira terbaik Kuomintang dibiarkan terkepung dan dihancurkan oleh komunis. Selain terjadinya persaingan internal di kubu militer, kesalahan dalam pengambilan putusan turut berkontribusi dalam melemahkan pasukan-pasukan terbaik dari Kuomintang. Tidak mengherankan bila berbagai pasukan tersebut dapat dikepung dan dihancurkan atau ditangkap oleh pasukan komunis yang sebenarnya lebih inferior dari mereka.
Puncak dari kejadian ini adalah menyerahnya pasukan terbaik Kuomintang yaitu First Army yang digadang-gadang merupakan pasukan terbaik dari Kuomintang,mengapa?. Karena pasukan ini dianggap mengakibatkan korban terbesar bagi militer Jepang selama perang Tiongkok Jepang yang ke 2. Menyerahnya New First Army bukan hanya pukulan moral yang sangat berat bagi Kuomintang. Melainkan hal ini juga sangat menguntungkan komunis, komunis memiliki akses perlengkapan perang paling modern yang dimiliki oleh Kuomintang.
Tidak mengherankan jika dalam perang-perang berikutnya pasukan Kuomintang dipaksa oleh komunis untuk berhadapan dengan rekan-rekan mereka sendiri yang telah beralih ke pihak komunis yang membawa seluruh pengalaman dan juga perlengkapan perangnya. Termasuk berbagai perlengkapan militer yang diimpor dari Amerika seperti Tank ringan M 5, tidak mengherankan jika militer Kuomintang sangat kualahan dengan berperang melawan pasukan komunis yang kini memiliki perlengkapan yang sama dengan Kuomintang.
Bahkan salah satu panglima militer Kuomintang yang paling jenius yaitu Jenderal Du Yuming yang selama hidupnya mendapat julukan Zhuge Liang kecil karena keberhasilannya melwan Jepang dalam perang dunia ke II tidak dapat berbuat banyak ketika ia harus melawan komunis yang menggunakan bekas-bekas dari pasukan Kuomintang yang masih setia. Pada akhirnya Jenderal Du Yuming berhasil dikalahkan dan ia sendiri tertangkap komunis.
Kisah-kisah seperti ini makin membuat sekutu dari Kuomintang semakin meragukan kompetensi militer dari Kuomintang. Pengalamannya dalam perang saudara Tiongkok mengajarkan Deng Xiao Ping yang saat itu masih menjabat sebagai komisari politik dari pasukan pembebas rakyat, apa pentingnya menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat praktis. Hal ini menjadi sangat unik karena sebagai komisaris politik sudah menjadi tugas Deng untuk memastikan kesetiaan dari pihak militer terhadap ideologi komunis.