Browsing: Info

Perang Dagang dan Kebangkitan Tiongkok (Part II)

Selain perang saudara Tiongkok, pengalaman yang juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusannya adalah perpecahan diantara Tiongkok dan Soviet. Hal ini membuat Deng Xiao Ping melakukan kunjungan kenegaraan ke berbagai wilayah selatan, dalam hal ini Asia Tenggara sebagai cara untuk membendung pengaruh dari Soviet dan Vietnam maupun untuk melihat berbagai perkembangan yang sudah berhasil dicapai oleh negara-negara di sekitar Tiongkok.

Diantara negara-negara di Asia, Deng sangat tertarik dengan kasus kebangkitan Singapura. Ia melihat bagaimana gaya kepemimpinan dari Lee Kuan Yew berhasil mengubah Singapura menjadi negara yang paling maju di wilayah Asia Tenggara. Keberhasilan kepemimpinan Lee menunjukkan bagaimana suatu negara dapat menjadi makmur secara ekonomi sekalipun secara politik dipimpin dengan cara yang agak otoriter. Lee menunjukkan bukan masalah otoriter atau demokrasi melainkan kepemimpinan berbasis keterbukaan yang membuat suatu negara menjadi maju.

Kebijakannya dalam menerima investasi asing disaat negara-negara lainnya sedang terbakar oleh semangat anti asing membuat Singapura berhasil menampung investasi asing. Dalam buku Lee Kuan Yew, The Grand MasterĀ  Insight of China, The Unites States, and The World, kita dapat melihat bagaimana Lee dan berbagai analisisnya turut mempengaruhi pengambilan keputusan dari Deng Xiao Ping. Bahkan setelah kunjungan kenegaraan pertama dari Deng ke Singapura, pandangan Tiongkok kepada Singapura mulai berubah.

Pada awalnya adalah umum bagi negara komunis seperti Tiongkok untuk menyebut Singapura sebagai Running Dog of The America Imperialis ditengah persaingan dagang China Amerika. Hanya beberapa waktu setelah kunjungannya Tiongkok mulai merubah pandangan itu dan menggambarkan Singapura sebagai the Garden City. Mereka bahkan menyebutkan Singapura sebagai tempat untuk mempelajari berbagai bidang seperti penghijauan, perumahan publik maupun pariwisata.

Memangnya apa yang dipelajari oleh Deng dari Lee Kuan Yew dan Singapura. Untuk mengetahuinya kita dapat melihat isi dari pidato Deng pada tahun 1979 yang mengatakan “saya telah pergi ke Singapura untuk mempelajari bagaimana mereka memanfaatkan investasi asing yang menyumbang sebesar 35% dari pendapatan bersih dalam bentuk pajak dari Singapura”.

Selanjutnya keberadaan investasi asing juga memberikan upah yang layak bagi para pekerja di Singapura, selain itu hal ini juga turut mempengaruhi pertumbuhan industri khususnya dibidang jasa. Ketiga hal itu tentu saja berbagai pendapatan yang sebenarnya diterima oleh negara. Apa yang Deng lihat dari kemajuan Singapura telah memberikannya suatu standard mengenai apa yang harus dicapai Tiongkok dimasa-masa mendatang dalam berbagai reformasi dibidang ekonominya.

Melihat berbagai fakta, pemerintah Tiongkok dibawah kepemimpinan Deng Xiao Ping mengambil kebijakan untuk mencoba sistem ekonomi pasar, hal ini mereka lakukan secara hati-hati dan bertahap. Pada tahun 1980, Deng menerbitkan konsep spesial ekonomi zone dimana Shenzhen menjadi salah satu dari 4 kota yang mendapat status tersebut. Kota Shenzhen berada di sebelah utara dari Tiongkok yang pada saat itu masih merupakan koloni dari kerajaan Inggris.

Pada awalnya kota ini tidak lebih dari sebuah kampung nelayan, dikemudian hari Shenzhen berhasil melahirkan perusahaan-perusahaan besar asal Tiongkok dan salah satunya yang paling terkenal adalah Huawei. Keberhasilan program ini membuat kota-kota besar maupun kota-kota pelabuhan Tiongkok dibuka untuk menerima investasi asing. Dari sini kita dapat melihat ada hubungan antara kebijakan yang tepat dan kemajuan dari sebuah negara terlepas dari ideologi apapun yang pernah dianut oleh negara tersebut.

Hal lain yang tidak kalah menarik dari masa kepemimpinan Deng Xiao Ping mungkin adalah ambisinya untuk mencapai reunifikasi Tiongkok dengan konsep One Country, Two System yang merupakan produk turunan dari kebijakan Deng yaitu Sosialisme dengan karakteristik Tiongkok. Dikemudian hari, Kebijakan praktis tersebut membuat Tiongkok memperolah kembali Hongkok dari Inggris pada tahun 1997 dan Macao dari Portugal pada tahun 1999.

Sekalipun demikian, Deng Xiao Ping tidak memiliki kesempatan untuk melihat keberhasilan dari konsep yang dibuatnya karena ia telah meninggal 4 bulan sebelum dikembalikannya Hongkong kepada Tiongkok. Melalui kisah ini kita bisa melihat bagaimana Deng Xiao Ping yang adalah seorang pemimpin komunis mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang mungkin tidak terpikirkan bahkan oleh para pemimpin yang anti komunis sekalipun.

{ Add a Comment }

Perang Dagang dan Kebangkitan Tiongkok (Part I)

Belakangan ini kita disuguhkan dengan berita-berita internasional khususnya mengenai perang dagang yang terjadi diantara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok. Kita bisa melihat bagaimana ketegangan yang ditimbulkan oleh kedua negara ini seakan menghidupkan kembali persaingan antar dua kekuatan besar dunia. Persaingan menjadi semakin nyata ketika Amerika mengumumkan berbagai kebijakan baru khususnya untuk komoditas-komoditas atas Tiongkok yang kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan hal yang sama.

Semakin hari permasalahan ini semakin parah, jumlah komoditas dagang yang saling bersaing dari dua negara tersebut semakin banyak. Akhir-akhir ini kita bahkan melihat bagaimana Amerika berusaha melawan pengaruh Tiongkok dengan membatasi perusahaan-perusahaan berbasis teknologi asal Tiongkok seperti Huawei dan ZTE. Hal ini mungkin mengingatkan kita bahwa pada tahun 1957, Uni Soviet berhasil menggemparkan dunia dengan program antariksanya yang berhasil meluncurkan satelit buatan manusia pertama, Sputnik I. Hanya beberapa bulan kemudian Uni Soviet mengirimkan mahluk hidup pertama ke luar angkasa yaitu Laika yang sebenarnya adalah seekor anjing jalanan.

Pada tahun 1961, Soviet bahkan mengirimkan manusia pertama keluar angkasa, astronot itu bernama Yuri Gagarin. Dengan berabgai pencapaiannya, Uni Soviet seakan berpesan kepada seluruh dunia bahwa komunis bukan hanya mampu menandingi, bahkan mampu mengalahkan kemajuan teknologi dari berbagai negara kapitalis barat. Melihat hal ini Amerika segera merespons dengan program antariksanya sendiri yang didorong atas kecemburuan dan ketakutan terhadap superioritas teknologi dari negara rivalnya tersebut.

Hal ini membuat Amerika mengalokasikan dana yang begitu besar bagi program-program antariksanya dan pada akhirnya membuat space race berhasil dimenangkan oleh Amerika. Sekalipun Uni Soviet telah runtuh, namun bayang-bayang akan ketertinggalan dari negara adidaya seperti Amerika seakan muncul kembali dengan bangkitnya Tiongkok pada abad ke 21. Kebangkitan tersebut seakan menggantikan posisi Soviet sebagai saingan terberat yang dihadapi Amerika Serikat.

Berbeda dengan kawan lamanya, Soviet, Tiongkok yang sekalipun labelnya adalah komunis, Ia tidak terlalu tertarik untuk menyebarkan ideologinya. Bagi pemerintah Tiongkok yang terpenting adalah menjamin berbagai kebutuhan dari masyarakatnya yang begitu besar dan masih terus membesar sekaligus menjamin keberlangsungan kekuasaan dari partai komunis. Terlebih bagi pemerintah Tiongkok bayang-bayang akan kejatuhan dari para pemimpin Uni Soviet masih cukup hangat di pikiran mereka.

Bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan era orde baru atau setidaknya dipengaruhi olehnya mungkin akan bertanya, bukankah negara yang menganut ideologi komunis memiliki kecenderungan menyebarkan ideologinya ke negara-negara lainnya, mengapa hal tersebut bisa berubah?. Tiongkok terlepas dari ideologi komunisnya mampu menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Bahkan membuat negara-negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat pada akhirnya harus mengumumkan perang dagang melawan Tiongkok.

Perubahan kebijakan tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Deng Xiao Ping. Yang seperti namanya Xiao Ping lebih tertarik mencari kucing yang memang mampu menangkap tikus, tidak peduli apa warna kucingnya. Sebagai seorang pemimpin yang menggantikan Mao Zedong, Deng juga mewarisi berbagai masalah yang belum mampu diselesaikan oleh pemimpin Tiongkok sebelumnya.

Dalam menghadapi berbagai masalah tersebut, Deng Xiao Ping menerapkan prinsip mencari kebenaran dari fakta yang kemudian ia tuangkan dalam kalimat, sosialisme dengan karakteristik Tiongkok. Kalimat tersebut mewarnai berbagai kebijakan yang diambil pada masa pemerintahannya yang pada dasarnya bisa kita mengerti sebagai bentuk politik praktis.

Diambilnya kebijakan itu tidak terlepas dari pengalaman hidupnya yang sudah melewati berbagai fase. Mulai dari pengalamannya dalam perang saudara Tiongkok, dimana salah satu faktor yang menjelaskan mengapa komunis berhasil memenangkan perang tersebut adalah bagaimana mereka mampu memanfaatkan pasukan-pasukan nasionalis yang berhasil ditangkapnya untuk kemudian dirubah atau di indoktrinisasi menjadi pasukan-pasukan komunis baru yang setia.

Berbeda dengan pasukan komunis yang umumnya terdiri dari para gerilyawan, pasukan militer nasionalis yang berasal dari tentara revolusioner nasional atau pasukan Kuomintang. Pasukan ini bukan hanya merupakan pasukan yang lebih terlatih, mereka juga adalah veteran dalam perang konvensional melawan Jepang. Sebagian dari mereka bahkan sudah dipersenjatai ulang dan dilatih menurut metode perang terbaru dari militer sekutu.

Sekalipun demikian, tidak jarang pasukan yang lebih modern ini terjebak dan dikepung oleh komunis. Dan dalam hal ini tidak jarang, bukan karena para perwira Kuomintang yang kurang kompeten, melainkan karena sebagian dari para perwira Kuomintang lebih sibuk untuk bersaing diantara mereka sendiri daripada bersatu untuk melawan musuh bersama yakni pasukan komunis. Bahkan tidak jarang dari para perwira Kuomintang yang karena permasalahan pribadi membiarkan rekan-rekan mereka dikepung dan dihancurkan dengan meminjam tangan dari pasukan komunis. Hal ini mereka lakukan sebagai salah satu cara untuk menyingkirkan rival-rivalnya.

Hal ini juga bisa dilihat dari kisah salah satu perwira terbaik Kuomintang yang bernama Zhang Lingfu. Zhang adalah salah satu perwira yang paling kompeten, Chiang Kai Shek bahkan mempercayakannya sebagai kepala dari divisi 74 yang pada saat itu merupakan salah satu dari 5 pasukan terbaik yang dimiliki oleh Kuomintang. Namun dalam kampanye militer, Menglianggu, pasukannya maju terlalu jauh kegaris pertahanan musuh sehingga mudah dikepung oleh pasukan-pasukan komunis.

Sekalipun pada dasarnya masih terdapat pasukan Kuomintang disekitarnya, sebagian dari mereka tidak mau membantu divisi 74 dengan mengatakan berbagai alasan. Bahkan setelah atasan mereka sendiri yaitu Chiang Kai Shek memerintahkannya untuk menolong Zhang yang sebenarnya adalah rekan seperjuangan dari para perwira tersebut. Salah satu alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah karena kecemburuan mereka dengan pencapaian militer Zhang yang dipercayakan memimpin salah satu divisi terbaik Kuomintang.

Pada akhirnya permasalahan ini menyebabkan salah satu perwira terbaik Kuomintang dibiarkan terkepung dan dihancurkan oleh komunis. Selain terjadinya persaingan internal di kubu militer, kesalahan dalam pengambilan putusan turut berkontribusi dalam melemahkan pasukan-pasukan terbaik dari Kuomintang. Tidak mengherankan bila berbagai pasukan tersebut dapat dikepung dan dihancurkan atau ditangkap oleh pasukan komunis yang sebenarnya lebih inferior dari mereka.

Puncak dari kejadian ini adalah menyerahnya pasukan terbaik Kuomintang yaitu First Army yang digadang-gadang merupakan pasukan terbaik dari Kuomintang,mengapa?. Karena pasukan ini dianggap mengakibatkan korban terbesar bagi militer Jepang selama perang Tiongkok Jepang yang ke 2. Menyerahnya New First Army bukan hanya pukulan moral yang sangat berat bagi Kuomintang. Melainkan hal ini juga sangat menguntungkan komunis, komunis memiliki akses perlengkapan perang paling modern yang dimiliki oleh Kuomintang.

Tidak mengherankan jika dalam perang-perang berikutnya pasukan Kuomintang dipaksa oleh komunis untuk berhadapan dengan rekan-rekan mereka sendiri yang telah beralih ke pihak komunis yang membawa seluruh pengalaman dan juga perlengkapan perangnya. Termasuk berbagai perlengkapan militer yang diimpor dari Amerika seperti Tank ringan M 5, tidak mengherankan jika militer Kuomintang sangat kualahan dengan berperang melawan pasukan komunis yang kini memiliki perlengkapan yang sama dengan Kuomintang.

Bahkan salah satu panglima militer Kuomintang yang paling jenius yaitu Jenderal Du Yuming yang selama hidupnya mendapat julukan Zhuge Liang kecil karena keberhasilannya melwan Jepang dalam perang dunia ke II tidak dapat berbuat banyak ketika ia harus melawan komunis yang menggunakan bekas-bekas dari pasukan Kuomintang yang masih setia. Pada akhirnya Jenderal Du Yuming berhasil dikalahkan dan ia sendiri tertangkap komunis.

Kisah-kisah seperti ini makin membuat sekutu dari Kuomintang semakin meragukan kompetensi militer dari Kuomintang. Pengalamannya dalam perang saudara Tiongkok mengajarkan Deng Xiao Ping yang saat itu masih menjabat sebagai komisari politik dari pasukan pembebas rakyat, apa pentingnya menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat praktis. Hal ini menjadi sangat unik karena sebagai komisaris politik sudah menjadi tugas Deng untuk memastikan kesetiaan dari pihak militer terhadap ideologi komunis.

{ Add a Comment }